Studium Generale Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNY

Dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-4 Fakultas Ekonomi (FE) UNY, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FE UNY mengadakan Studium Generale dengan tema “Memandirikan Perekonomian Indonesia Berdasarkan Demokrasi Ekonomi Pancasila”, Sabtu (23/5) kemarin. Hadir sebagai narasumber adalah Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014 Prof. Dr. Boediono, M.Ec., dan Guru Besar FEB UGM Prof. Mudrajad Kuncoro, PhD. Dalam studium generale ini, hadir lebih dari 300 peserta yang terdiri dari mahasiswa, guru, dan kalangan umum dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Diadakan di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, acara ini dihadiri dan dibuka oleh Wakil Rektor I Wardan Suyanto, M.A., Ed.D., serta dibersamai oleh jajaran Dekanat FE dan dosen di lingkungan fakultas. Bertindak selaku moderator adalah Dekan FE Dr. Sugiharsono, MSi pada sesi pertama dan mahasiswa FE UNY Ikmal Nur Muflih pada sesi kedua.

Ketua DPM FE UNY, Abi Sofyan Risdiyantara mengatakan dalam sambutannya, acara ini diselenggarakan untuk membahas lebih jauh permasalahan ekonomi di Indonesia. “Dengan berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945, sudahkah perekonomian kita mandiri? Ini yang semoga bisa sedikit terjawab melalui forum ini,” terangnya.

Sementara itu, Wardan Suyanto menyatakan bahwa mahasiswa harus bisa memanfaatkan studium generale ini sebagai sarana meraih ilmu yang bermanfaat. “Dengan narasumber yang berpengalaman di lapangan seperti Prof. Dr. Boediono, mahasiswa bisa mendapatkan banyak pelajaran berharga,” harapnya.

Boediono menjelaskan, ilmu ekonomi adalah ilmu yang tidak bisa berdiri sendiri. Dia adalah ilmu yang berkaitan dengan ilmu lain. “Para pendiri bangsa ini, sudah memikirkan bagaimana caranya membangun negeri dalam satu konstitusi. Tetapi tentu semangat untuk membangun itu tidak semuanya bisa terangkum dalam UUD. Dibutuhkan penjabaran-penjabaran yang lebih lanjut,” ungkapnya.

“Kemandirian ekonomi tidak berarti meminimalkan interaksi dengan dunia luar. Bukan menutup diri. Indonesia tidak bisa seperti Korea Utara yang dikucilkan. Rakyatnya tentu akan menderita. Perdagangan, investasi, komunikasi dengan dunia luar adalah keniscayaan dalam situasi globalisasi dunia saat ini,” tambahnya.

Boediono mendefinisikan kemandirian suatu bangsa secara khusus sebagai, “kemampuan suatu bangsa/negara untuk bisa tetap tegak dalam situasi apapun. Selain itu, negara itu juga memiliki kemampuan untuk mengatasi, melewati dengan selamat tantangan-tantangan yang dinamis.”

Berkaitan dengan tantangan, Boediono menegaskan, ada tiga kelompok tantangan yang menjadi penghambat atau pendukung ekonomi suatu bangsa. “Pertama, kelompok politik dan keamanan. Ukraina, Timur Tengah, dan kondisi di Laut Cina Selatan terkini adalah tantangan yang patut diwaspadai. Kedua, kelompok ekonomi dan keuangan. Di dunia secara umum terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok, Eropa, dan Jepang tampak melambat. Sementara Amerika Serikat tetap stabil pertumbuhannya dan mantap sebagai negara ekonomi terbesar dunia saat ini.

Ketiga yaitu kelompok alam dan iklim. Kekeringan, ancaman El Nino, dan perubahan topografi di pantai, hutan, di Indonesia menjadi tantangan yang tak bisa diremehkan. Perubahan iklim terjadi secara perlahan di berbagai dunia. Daerah yang tak pernah turun hujan atau salju kini ternyata mendapat hujan dan salju turun,” urainya.

Selain itu, Boediono juga menyoroti kemandirian di bidang pangan sebagai satu keharusan bagi Indonesia. “Kecukupan beras bisa tercapai jika sisi produksi dalam negeri mengalami kenaikan. Pada 1970-an, Indonesia mulai menyiapkan program Swasembada beras. Mulai dari bibit unggul, pupuk, irigasi, kredit bagi petani, dan pengaturan harga disiapkan oleh pemerintah. Hasilnya, 1984 swasembada beras tercapai, bahkan sampai bisa mengekspor ke luar.”

Ada tiga hal yang patut menjadi perhatian dalam pembangunan fondasi ekonomi suatu negara agar menjadi mandiri secara jangka panjang. “Saya rumuskan ini menjadi 3I, yaitu bangunlah Insannya, lalu bangunlah institusinya, dan terakhir bangunlah infrastrukturnya. Untuk jangka pendeknya, tentu saja merespon tantangan-tantangan dari berbagai kelompok tadi yang muncul,” pungkasnya.

Sementara itu, Mudrajad mengingatkan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal sejengkal lagi diberlakukan patut dijadikan perhatian semua pihak. Dengan liberalisasi di sektor barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja, maka negara-negara di ASEAN bebas mengalirkannya sesuai kemampuan yang mereka miliki.

“Dari segi pariwisata saja misalnya, Indonesia hanya dikunjungi 9 juta pengunjung pada tahun lalu. Sementara Malaysia, Thailand, dan Singapura yang tidak seberapa luas bisa mendatangkan 25 juta, 22 juta, dan 14 juta. Point of interest di Indonesia harus lebih dipertegas, dan penyusunan paket wisata juga perlu lebih kreativitas lagi,” ujarnya.

“Nawa Cita yang menjadi target kinerja kabinet Jokowi-JK, memang tidak jelek karena ini diderivasikan dari cita-cita Bung Karno yang berupa Tri Sakti. Tetapi, apakah ini bisa dicapai dalam lima tahun kepemimpinannya?” tuturnya.  Pemerataan dana bantuan bagi desa yang pemerintah usung juga patut disorot.

“Setiap desa memiliki jumlah penduduk yang berbeda. Kota Yogyakarta memiliki kepadatan penduduk 12 ribu orang per kilometer persegi. Sementara Jakarta 14ribu per km2. Sedangkan kabupaten termuda di Indonesia, Kabupaten Malinau, hanya 1,7 orang per km2. Tentu jumlahnya tidak bisa disamaratakan begitu saja. Koperasi di Indonesia sebenarnya sudah berjalan baik. Bahkan, beberapa di antara koperasi di Indonesia memiliki aset hingga trilyunan, seperti Kospin Jasa yang mencapai 1,6 trilyun.,” ujarnya. (fadhli)