Pasar Tradisional Asia di Tengah Geliat Pasar Modern

narasumber

Supermarket, hypermarket, dan bahkan pasar-pasar modern kecil yang letaknya acapkali hanya berseberangan jalan atau bersebelahan makin menjamur di berbagai daerah di Asia, termasuk di Indonesia. Sebagai akibatnya, pasar tradisional tergusur karena konsumen mulai teralihkan oleh kehadiran pasar-pasar modern tersebut. Selain produk luar negeri yang membanjiri rak-rak di sela produk lokal dan domestik, supermarket dan pasar modern muncul dan secara perlahan mengambil alih peran pasar tradisional di masyarakat. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang mampu mendongkrak kembali produk lokal dan pasar tradisional di tengah kepungan proses modernitas pasar ini. Untuk menggali masalah ini lebih jauh, Fakultas Ekonomi (FE) UNY bekerja sama dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM dan Asia Pacific Research Network (APRN) menyelenggarakan Seminar Internasional bertema “Supermarket Expansion in Asia” Sabtu (27/9) lalu.

Salah satu pemateri, Dr. Revrisond Baswir bahkan menuturkan secara analitis, bahwa masalah utama bukanlah terletak pada supermarket yang mengekspansi pasar Asia. “Masalahnya adalah, barang yang diperdagangkan di pasar tradisional saja didatangkan dari luar negeri. Bukan hanya itu, pola pikir penjual dan pembeli pun sudah tercemar. Untuk memahami itu, kita harus mundur jauh ke belakang, apa yang menyebabkan ini semua? Apakah benar ekspansi supermarket ini hanya gejala yang normal dan memang sudah sewajarnya muncul saat ini?” tanyanya retoris.

Dyna Herlina Suwarto, M.Sc., dari Marketing Lab UNY menuturkan, bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) supermarket pertama kali muncul di Indonesia pada 1968. “Hingga pada tahun 1997 jumlahnya sudah mendekati 500 dan kini mencapai ribuan di seluruh Indonesia. Carrefour sebagai pelopor sektor retail modern muncul setelah diterbitkannya Keputusan Presiden No. 96/2000 dan 118/2000 pada 1999,” jelasnya.

Menurut Sony, panggilan akrab Revrisond Baswir, tanggal 30 September 1965 bukanlah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tanggal 30S itu sebenarnya rekayasa jaringan korporasi asing utk mnghabisi pemerintahan Soekarno. Pada 23 Agustus di tahun itu, Soekarno menerbitkan Undang-undang (UU) yang mengakhiri keterlibatan asing dalam investasi di Indonesia. Lalu UU yang pertama kali diterbitkan pasca penggulingan tersebut adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sejak itulah mulai terjadi ekspansi investasi asing di Indonesia. Ekspansi supermarket hanya derivasi dari peristiwa tersebut,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam sambutannya mewakili Rektor UNY, Wakil Dekan I FE UNY Prof. Dr. Moerdiyanto mengatakan, dewasa ini supermarket memang sudah begitu menggejala di Asia, termasuk Indonesia. “Pengusaha di Indonesia harus meningkatkan daya saingnya jika ingin mempertahankan eksistensinya. FE UNY yang memang ingin mengembangkan ekonomi kerakyatan menyambut baik seminar ini dan kami harap dapat meningkatkan wawasan dan semangat para peserta, terutama mahasiswa, dalam pengembangan ekonomi di Indonesia yang lebih pro-rakyat,” ungkapnya.

Dalam acara yang diikuti lebih dari 100 peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, dan peneliti ini, turut menjadi pembicara dosen FE UNY Dyna Herlina Suwarto, M.sc, Kartini Samon dari organisasi internasional pemerhati dunia pangan GRAIN yang menyoroti korporasi pangan dunia di Asia, serta Kingkorn Narintarakul dari Biothai Thailand yang membahas masalah pasar di kawasan Thailand. Selain itu, juga terdapat belasan peneliti dari Asia Pasific Research Network (APRN) dalam seminar yang dimoderatori dosen FE UNY, Denies Priantinah, M.Si. Akt. (fadhli)