Delapan Penyakit Hati dalam Diri Manusia

“Banyak dari kita yang mengerti seberapa besar kekuatan Al Qur’an yang Allah turunkan umat muslim yang ada di muka bumi ini. Bahkan nama Al Qur’an yang kita kenal sebagai Asy Syifa (penyembuh) seringkali belum kita percaya akan kemujarabannya. Sudah kuatkah kita dalam mengimani Al Qur’an, sehingga mampu menjadikannya sebagai obat paling ampuh dalam menyembuhkan penyakit-penyakit yang ada? Namun jangan disalahartikan apa yang saya sampaikan barusan. Bukan berarti kita membenarkan tindakan yang dilakukan oleh beberapa kalangan, manakala menaruh botol berisikan air bening di depan orang-orang yang tengah membaca lantunan ayat suci Al Qur’an dan menganggap itu bakal menjadi satu-satunya obat yang mujarab dan juga penuh khasiat. Karena hal itu bukan saja akan menyeret kita dalam perilaku syirik, namun juga pembodohan umat dengan mencampuradukkan sunnah dengan cara-cara kefasikan,” demikian urai Prof. Drs. H. Dochak Latief, Sabtu, 2 Maret 2013 dalam Pengajian Dosen dan Karyawan FE UNY di Ruang Ramah Tamah Fakultas Ekonomi UNY. Pengajian ini diikuti seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Ekonomi dan diiringi dengan penyerahan Bantuan Uang Pendidikan untuk Anak Yatim/Piatu/Fakir/Miskin dari Zakat Infaq Shodaqoh Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta sejumlah 13 orang.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan yang dilalui oleh setiap orang pasti memiliki saat ia bersemangat dalam memenuhi kewajiban atas keimanan yang diikrarkannya, namun ada pula saat di mana ia akan menemui penyakit hati yang menggerogoti keimanannya sebagai seorang muslim. Karena memang sudah tabi’at keimanan menemui masa ketangguhan saat ia sedang menguat, namun tak jarang pula mengalami penurunan manakala ia melemah karena maksiat yang dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak. Mungkin kita pun menyadari bahwa banyak sekali potensi penyakit yang akan dialami manusia, yang barangkali tak terdiagnosis bahkan oleh pengetahuan medis sekali pun,” jelasnya.

Sedikitnya ada 8 potensi penyakit yang seringkali diidap oleh manusia, barangkali juga termasuk kita. Yang pertama dan kedua adalah penyakit lemah semangat dan malas. Dan barangkali itulah yang selama ini menjangkiti kita, bahkan untuk sekedar mengawali rutinitas keseharian termasuk juga mungkin ketika kita diminta untuk datang ke pengajian ini. Yang berikutnya adalah keresahan hati serta rasa gelisah yang memunculkan ketergesa-gesaan. Bisa jadi ini diakibatkan oleh banyak hal, salah satunya ketidaksiapan kita saat menghadapi masalah yang ada. Dada ini sesak dengan ketakutan dan ketidak-tenangan karena tidak mampu menyerahkan semuanya dalam ketawakkalan kepada Allah.

Penyakit selanjutnya adalah sifat bakhil dan pengecut. Seringkali kita tak mengerti bahwa ada hak orang lain dari harta yang kita miliki, dan kebakhilan menutupi mata hati kita pada kepedulian terhadap lingkungan di mana kita berada. Dan betapa menyulitkannya saat kita bekerja sama dengan orang yang memiliki jiwa pengecut, tak ada manfaat darinya. Sedangkan dua penyakit berikutnya adalah kegemaran berhutang dan hidup di bawah bayangan orang lain. Betapa merepotkannya orang-orang semacam ini jika ada di dekat kita. Lagipula, bukankah akan lebih terhormat jika kita yang menjadi tempat berhutang dan pengayom bagi yang lain?

Untuk menjaga kita dari serangan penyakit-penyakit di atas, Prof. Dr. Dochak Latief menuturkan ada tiga benteng yang dapat digunakan oleh setiap muslim. “Pertama, yaitu dengan merutinkan qiro’atul qur’an (membaca Al Qur’an). Kedua, memperbanyak dzikrullah (mengingat Allah). Ketiga, senantiasa menumbuhkan kecintaan akan masjid sehingga kita dapat benar-benar menemukan ketenangan saat berada di dalamnya. Lagi-lagi itu hanya bisa bermanfaat jika dibungkus keimanan dan kebersihan hati dalam diri seorang muslim.”

Materi ceramah siang itu diakhiri dengan penjabaran tentang sifat-sifat dari hukum Islam. Yang pertama adalah aktif, karena adanya hukum Islam bukan sekedar untuk dipelajari namun juga untuk diamalkan secara aplikatif dalam hidup seorang muslim. Sifat selanjutnya adalah kreatif, meskipun ia sudah ditetapkan dalam satu garis yang lurus namun adakalanya perlu dilakukan telaah ulang dan penyesuaian agar dapat melingkupi seluruh aspek yang ada dalam keseharian seorang muslim. Dan tentu saja tetap ada koridor yang mengatur agar ia tak “terkreasikan” dengan berlebihan dan justru mengarah pada hal-hal yang dilarang oleh agama.

Sifat ketiga adalah asimilasi. Hampir mirip dengan poin sebelumnya, sifat ini juga mempersilakan kita untuk mempraktekkan kebiasaan-kebiasaan yang dianggap lumrah, selama hal tersebut tidak melanggar syariat yang telah ditetapkan. Dan sifat yang terakhir adalah toleransi, yang artinya tetap harus dijaga rasa saling pengertian terhadap pilihan sikap yang diambil masing-masing individu selama memang itu masih memiliki hujjah yang jelas dan tidak keluar dari kaidah-kaidah yang diajarkan Rasulullah Muhammad saw. Wallahu a’lam bish shawaab... (Lukman)